ZMedia Purwodadi

Sepasang Sepatu Lama

Table of Contents

Ketika Ayah memutuskan untuk pergi dari rumah lama, suasana begitu berat. Barang-barangnya perlahan diangkut ke tempat barunya, tapi ada satu hal yang tertinggal: sepasang sepatu kulit hitamnya yang sudah usang. Sepatu itu selalu dipakainya ke kantor dulu, solnya mulai tipis, dan warnanya sudah pudar. Tapi entah kenapa, bagi kami, sepatu itu seperti saksi bisu dari banyak kenangan.

Aku, anak kedua, adalah yang mengingatkannya. "Yah, sepatu kerjamu masih ada di bawah tangga," kataku saat membantu membereskan sisa barangnya.

Ayah hanya menghela napas. "Sudah, biarkan saja. Mungkin nggak akan dipakai lagi."

Tapi aku merasa itu bukan sekadar sepatu. Itu bagian dari dirinya yang tertinggal. "Nanti kalau aku ke rumah Ayah, kubawakan," janjiku.

Kesempatan yang Terlewat

Beberapa kali aku mengunjungi apartemen kecil Ayah, tapi selalu saja lupa. "Ah, lain kali saja," bisikku setiap pulang, padahal tahu Ayah mungkin tidak akan mengingatkannya. Dia tidak pernah meminta, tapi aku yakin—dia diam-diam merindukannya.

Hingga suatu sore, aku benar-benar teringat. Segera kususuri rak sepatu di rumah lama, tapi jantungku langsung tenggelam: sepatu itu sudah tidak ada. Mungkin Ibu membuangnya, atau mungkin terselip di mana-mana. Aku mencari-cari, tapi tidak ketemu. Sedih, tapi aku tidak berani mengatakannya pada Ayah.

Sebuah Kejutan di Balik Rindu

Beberapa bulan berlalu. Aku sedang membereskan lemari di kamarku ketika tiba-tiba melihat sebuah kantong plastik hitam terselip di antara tumpukan kaus. Kucurihati—sepatu Ayah! Rupanya, dulu tanpa sadar aku pernah memasukkannya ke dalam tas tapi lupa memberikannya.

Tanpa menunda, aku mengirim pesan: "Yah, sepatumu ketemu! Aku simpan, nanti kalau ketemu kubawa."

Balasannya membuat air mataku hampir tumpah: "Kamu masih ingat?"

Aku bisa membayangkan raut wajahnya—mungkin dia tersenyum, atau matanya berkaca-kaca seperti dulu setiap kali tersentuh.

Ketika akhirnya sepatu itu sampai di tangannya, Ayah memegangnya perlahan, seperti menerima sesuatu yang jauh lebih berharga dari sekadar kulit dan sol yang aus. "Terima kasih, Nak," ujarnya pendek, tapi cukup membuatku tahu—dia menghargai ini lebih dari yang bisa diucapkan.

Bukan Tentang Sepatu, Tapi Tentang Ingatan

Aku sadar sekarang: bukan sepatunya yang penting. Tapi fakta bahwa setelah sekian lama, setelah perpisahan, setelah semua hal berubah—masih ada hal-hal kecil yang tersimpan di hati. Dan Ayah, meski tak pernah mengeluh, ternyata masih menyimpan rindu pada hal-hal yang pernah menjadi bagian dari hidupnya.

Termasuk sepasang sepatu tua yang, bagaimanapun, tetap punya tempat di antara kami.


Ayah akan selalu mencintaimu nak.

Posting Komentar