ZMedia Purwodadi

Merangkai Jarak

Table of Contents

Sudah lebih dari setahun sejak Aisyah dan adiknya, Nisa, tinggal bersama ibu mereka setelah perceraian orang tua mereka. Awalnya, semua berjalan seperti biasa, tapi lambat laun jarak antara mereka dengan sang ayah semakin terasa.

Dulu, Aisyah adalah anak yang paling dekat dengan ayahnya. Setiap sore sepulang sekolah, ayahnya selalu menjemputnya. Mereka mengobrol di sepanjang jalan pulang, membicarakan segala hal—dari pelajaran di sekolah hingga mimpi-mimpi Aisyah yang ingin menjadi seorang dokter. Meski hubungan ayah dan ibu mereka mulai merenggang, Aisyah tetap merasa aman di bawah naungan ayahnya. Namun, seiring berjalannya waktu, sesuatu berubah.

Sekarang, setiap kali ayahnya mencoba menghubungi, Aisyah selalu lambat merespons. Kadang ia hanya membalas dengan pesan singkat yang dingin, kadang tak membalas sama sekali. Bahkan, pertemuan mereka kini terbatas hanya saat ayah menjemputnya di sekolah, itupun tanpa banyak kata. Aisyah lebih banyak diam dan tenggelam dalam pikirannya. Di balik sikap dinginnya, ada perasaan terpendam yang ia sendiri sulit pahami.

“Apa yang terjadi, Kak?” Nisa sering bertanya pada Aisyah, berharap kakaknya mau berbagi. Namun Aisyah hanya menggeleng dan menatap keluar jendela.

Nisa, yang dulunya selalu ceria setiap kali diajak menginap di rumah ayah, kini pun mulai berubah. Setiap kali ayahnya mengundang mereka berkunjung, Nisa selalu punya alasan untuk menolak. “Aku sibuk, Ayah,” kata Nisa di telepon suatu hari. Padahal, di balik alasan itu, Nisa juga merasakan hal yang sama dengan kakaknya. Ada jarak yang semakin sulit dijembatani.

Di sisi lain, ayah mereka merasa sangat kehilangan. Ia merindukan tawa Aisyah yang ceria dan obrolan ringan dengan Nisa saat mereka bermain di taman. Setiap kali ia melihat foto-foto lama mereka bertiga, hatinya mencubit. Hanya dengan kenangan itulah ia bisa sedikit merasakan kehangatan yang dulu begitu dekat. Namun sekarang, ia hanya bisa berharap sambil memandangi layar ponsel yang sepi pesan.

Suatu hari, saat sedang sendirian di ruang tamunya yang sunyi, ayah mereka mengirim pesan. Kali ini bukan undangan makan atau permintaan bertemu. Hanya sebuah pesan singkat yang tulus, tanpa beban.

"Kakak, Adik, Ayah rindu kalian. Maafkan Ayah kalau selama ini Ayah membuat kalian merasa jauh. Ayah cuma ingin kita bisa seperti dulu lagi. Kalau kalian punya waktu, Ayah ingin sekali mendengar cerita kalian. Tentang apapun. Take care, my girls."

Pesan itu hanya diam di ponsel Aisyah dan Nisa. Keduanya membacanya, tapi tidak langsung membalas. Ada rasa bersalah dan rindu yang sama-sama mereka rasakan, namun sulit untuk diungkapkan. Mereka terdiam, bertanya-tanya bagaimana cara memulai kembali.

Di dalam hati kecil mereka, mereka tahu. Hubungan dengan ayah mereka mungkin tidak akan kembali seperti dulu, tapi jarak itu bisa diperkecil. Yang diperlukan hanyalah langkah kecil. Mungkin bukan sekarang, tapi suatu hari nanti, mereka akan menemukan cara untuk mendekat lagi.

Posting Komentar