Akhir Pekan Yang Sunyi
Setiap akhir pekan datang dengan diam yang menyesakkan. Jalanan kota ramai, mall dipenuhi tawa dan canda keluarga, tapi langkah sang ayah selalu sendiri. Ia duduk di bangku taman dalam mall, memandangi anak-anak kecil yang tertawa sambil digandeng ayah atau ibunya. Sementara tangannya hanya menggenggam sunyi.
Dulu, dua putri kecilnya selalu memeluk erat di setiap Sabtu pagi. Mereka akan berteriak riang, minta dibelikan es krim, main di playground, atau sekadar menonton film animasi bersama. Kini, yang tertinggal hanyalah kenangan. Foto-foto mereka masih tersimpan rapi di dompet dan ponselnya, tapi tak satu pun pesan masuk yang menanyakan, “Ayah, kita ke mana hari ini?”
Ia duduk di food court, memesan dua porsi nugget dan kentang goreng—kebiasaan lama yang sulit ditinggalkan. Porsinya tetap tak berubah, meski kini hanya satu yang disentuh. Yang satu lagi dibiarkan dingin, seperti harapannya yang perlahan beku.
Kadang ia bertanya dalam hati, Apa mereka sudah lupa? Apa mereka sudah tak merindukan ayahnya? Pertanyaan-pertanyaan itu menggema setiap malam minggu, menjelma jadi doa lirih yang terbang bersama angin malam: Nak, ayah masih di sini. Ayah masih menunggu.
Bukan rasa marah yang tumbuh, hanya rindu yang menumpuk. Rindu yang menolak pupus, meski hari terus berganti. Ia tahu dunia berubah, anak-anak tumbuh, waktu tak bisa diulang. Tapi ia juga percaya, cinta seorang ayah tak pernah usang. Ia hanya berharap, suatu hari nanti, dua putrinya akan kembali mengingat—betapa berharganya tawa mereka di sisi seorang ayah yang kini hanya bisa menunggu dalam sepi.
Posting Komentar