ZMedia Purwodadi

Kesunyian Hati

Table of Contents
Setiap Sabtu pagi, rumah ini selalu berbeda. Ada suara kecil yang berlarian di lantai kayu, tawa yang meledak karena mainan mobil-mobilan terjatuh dari sofa, dan aroma roti bakar yang menyeruak dari dapur — tanda bahwa si bungsu datang.

Anak kedua kami, Dina, selalu datang setiap akhir pekan dari rumah ibunya. Usianya baru delapan tahun, tapi dia sudah mengerti bahwa rumah ayahnya adalah tempat di mana dia bisa berlari-lari tanpa banyak larangan, tempat di mana ayahnya akan menemani dia menonton kartun sambil mengunyah biskuit.

Tapi hari ini, seperti biasa, ada yang terasa kosong.

Di sudut ruang tamu, masih tergantung tas kecil berwarna ungu — milik Lala, putri pertamaku. Tas itu sudah lama tak dipakai. Terakhir kali ia menggunakannya adalah tiga bulan lalu, saat pulang sebentar sebelum kembali ke pesantren di Jawa Tengah. Ia membawanya dengan senyum lebar, bilang, "Ayah, nanti kalau libur semester, Lala pulang lagi, ya!"

Aku mengangguk. Tapi di hati kecilku, aku hanya ingin dia pulang besok.

Lala kini berusia 15 tahun. Sejak kelas 10, ia memutuskan untuk mondok. Bukan karena kami memaksanya, tapi karena ia sendiri yang memilih. Ia ingin mendalami agama, belajar menghafal Al-Qur’an, dan menjadi pribadi yang lebih sabar. Aku bangga. Sangat bangga. Tapi bangga itu tak pernah menghapus rindu.

Aku sering melihat fotonya di ponsel — foto lama, saat ia masih duduk di bangku SMP, rambutnya dikepang dua, tersenyum lebar sambil memegang piala lomba cerdas cermat agama. Aku tersenyum. Tapi mataku perlahan mengabur.

Dina menarik lengan bajuku.  
"Ayah, tonton sama Dina, dong!"  
Aku tersentak. Kembali ke realita.  
"Oke, Nak. Ayah temani."

Kami duduk berdua di sofa. Ia bersandar di bahuku. Hangat. Tapi entah kenapa, aku membayangkan bagaimana rasanya kalau Lala duduk di sebelahku lagi, menceritakan pelajaran tadi pagi, atau membaca ayat-ayat yang baru ia hafal dengan suara pelan yang selalu membuatku tenang.

Aku tidak bisa sering menghubunginya. Sinyal di pesantren terbatas. Ia hanya bisa telepon atau video call saat izin dari ustadzah, biasanya sekali dalam dua minggu. Dan ketika wajahnya muncul di layar, aku selalu berusaha tersenyum lebar.  
"Apa kabar, Nak? Makan enak? Sehat?" 
Pertanyaan yang sama, setiap kali. Karena aku takut kalau aku bertanya, "Kapan pulang?" — suaraku akan pecah.

Ia selalu menjawab dengan tenang, "Alhamdulillah, Ayah. Di sini Lala baik-baik saja."
Dan aku percaya. Tapi hatiku tetap merindukan peluknya, suaranya yang memanggil "Ayaaaah…" saat pulang sekolah, atau kebiasaannya menaruh kepala di pangkuanku sambil membaca buku.

Dina tertawa keras melihat adegan lucu di layar. Aku ikut tertawa, tapi matanya menangkap sesuatu.  
"Ayah, kenapa mata ayah berkaca-kaca?" tanyanya polos.  
Aku menarik napas.  
"Ayah sedang rindu kakakmu, Dina."  
Ia mengangguk, lalu berkata, "Nanti kalau kakak Lala pulang, kita ajak main ke taman, ya, Ayah?"
Aku mengangguk, sambil mengusap rambutnya.  
"Iya, Nak. Kita ajak berdua."

Di dinding, jam dinding berdetak pelan. Hari Sabtu akan berlalu. Dina akan kembali ke rumah ibunya besok. Rumah ini akan kembali sepi. Hanya aku, foto-foto keluarga, dan doa yang kupanjatkan setiap malam:  
Ya Allah, jagalah putriku di sana. Beri dia kekuatan, ketenangan, dan kasih-Mu yang tak pernah habis. Dan izinkan aku memeluknya lagi, sebelum musim berganti.

Karena bagiku,  
anak perempuan bukan hanya harta.  
Ia adalah doa yang berjalan di bumi.  
Dan rinduku padanya, adalah bentuk cinta yang sedang belajar sabar.

Posting Komentar