ZMedia Purwodadi

Ketika Kabar Itu Datang ...

Table of Contents

 


Menjadi seorang ayah yang terpisah dari anak-anak adalah ujian yang tak pernah mudah. Ada jarak yang memisahkan, ada keadaan yang membatasi, dan ada rindu yang sering kali hanya bisa dipendam dalam doa. Namun, dari semua itu, ada satu hal yang paling menyayat hati: saat mendengar kabar anak sakit, sementara tangan ini tak bisa menjangkaunya.

Beberapa hari lalu, saya duduk sendirian di kamar. Malam sudah larut, layar ponsel saya masih menyala. Tiba-tiba notifikasi WhatsApp masuk. Nama pengirimnya membuat saya tersenyum sejenak—putri bungsu saya, adik. Biasanya ia mengirim pesan singkat berisi cerita lucu, emotikon senyum, atau sekadar menanyakan kabar saya. Tapi malam itu berbeda. Pesan yang masuk terasa berat dibaca:

"Ayah, kakak sakit cacar. Sekarang lagi di rumah ibu."

Saya terdiam. Hati saya seperti diremas kuat-kuat. Pesan yang begitu singkat itu menghantam dada saya dengan rasa khawatir yang tak bisa saya jelaskan.

Kakak, putri pertama saya, baru saja pulang dari pondok pesantren. Tubuhnya tentu lelah, pikirannya mungkin masih dipenuhi pelajaran dan hafalan. Dan kini, ia harus berjuang melawan sakit cacar. Saya tahu bagaimana sakitnya, bagaimana tubuh terasa panas, gatal, dan tidak nyaman. Di saat seperti itu, seorang anak pasti sangat membutuhkan pelukan dan perhatian.

Sebagai ayah, naluri saya langsung ingin pergi menemuinya. Ingin segera membeli obat, menyiapkan bubur hangat, dan mengusap kepalanya sambil berbisik, “Sabar ya, Nak. Ayah ada di sini.” Namun, langkah itu tak bisa saya lakukan. Kakak sedang berada di rumah ibunya, mantan istri saya. Ada batasan yang membuat saya hanya bisa menahan diri.

Saya menatap layar ponsel cukup lama. Jari-jari saya kaku, ingin menulis pesan panjang menanyakan kabarnya, tapi yang keluar hanya, “Bagaimana keadaannya, Dik? Kakak masih demam?” Pertanyaan sederhana, namun sebenarnya ada lautan rasa cemas yang tersembunyi di baliknya.

Adik membalas dengan polos, mengatakan bahwa kakak sedang istirahat. Ia menambahkan, “Tadi sempat nangis, Yah. Badannya panas. Tapi sekarang sudah tidur.”

Membaca itu, mata saya berkaca-kaca. Hati saya sakit, karena yang bisa saya lakukan hanya menatap layar ponsel, sementara anak saya terbaring lemah di tempat lain. Tidak ada tangan saya yang bisa mengusap peluhnya, tidak ada pelukan saya yang bisa menenangkannya.

Di kamar yang sepi itu, saya hanya bisa menunduk, menahan perasaan yang bergejolak. Saya sadar, menjadi seorang ayah yang terpisah artinya harus siap menghadapi momen-momen seperti ini. Momen ketika ingin sekali hadir, tapi keadaan tidak memungkinkan.

Saya pun memejamkan mata, lalu berdoa. Saya titipkan segala kasih sayang yang tak bisa saya ucapkan langsung. Saya bisikkan doa, semoga Allah memberi kesembuhan untuk kakak. Semoga cacar itu segera sembuh, semoga tubuhnya kembali kuat, semoga senyumnya kembali hadir.

Doa itu saya ulang-ulang, karena hanya itulah yang bisa saya lakukan.

Di sela doa, saya juga berterima kasih kepada adik. Ia yang menjadi jembatan kabar, yang dengan polosnya selalu mengabarkan kondisi kakaknya kepada saya. Dari pesan-pesannya, saya merasa tetap bisa dekat, meski sebenarnya jauh.

Malam itu, saya tidak langsung tidur. Saya terus menunggu kabar, meski akhirnya layar ponsel redup. Dalam hening, saya sadar satu hal: cinta seorang ayah tak pernah bisa dibatasi jarak atau keadaan. Meski tidak bisa hadir secara fisik, doa dan kasih sayang itu akan selalu sampai.

Saya hanya berharap, suatu hari nanti keadaan bisa berbeda. Saya ingin ada di samping mereka, bukan hanya saat mereka tertawa bahagia, tetapi juga ketika sakit dan membutuhkan saya. Karena sejatinya, seorang ayah hanya ingin satu hal: berada di sisi anak-anaknya, kapan pun mereka membutuhkan.

Dan malam itu, dengan hati yang penuh doa, saya hanya bisa berbisik pelan dalam hati:

“Cepat sembuh ya, Kak. Ayah sayang kamu, meski jarak ini sering memisahkan.”


Renungan Seorang Ayah

Dari kejadian ini saya belajar, ternyata menjadi orang tua bukan hanya tentang hadir secara fisik, tetapi juga bagaimana kita bisa tetap ada dengan cara lain, meski jarak dan keadaan sering kali menghalangi.

Kadang kita ingin selalu bersama anak-anak, menemani mereka setiap saat—entah ketika tertawa, belajar, atau bahkan ketika sakit. Namun hidup tidak selalu berjalan sesuai dengan keinginan. Ada keadaan yang memaksa kita untuk hanya bisa melihat dari jauh, menahan rindu, dan menitipkan kasih sayang lewat doa.

Saya yakin, banyak orang tua di luar sana yang mungkin merasakan hal serupa. Terpisah karena keadaan, jarang bertemu, bahkan mungkin hanya bisa mendengar kabar anaknya lewat pesan singkat. Rasa sedih itu nyata, rasa khawatir itu nyata. Tapi dari situlah kita belajar tentang arti kesabaran dan keikhlasan.

Bagi saya, doa adalah jalan terbaik. Mungkin saya tidak bisa memeluk kakak ketika ia sakit, tidak bisa mengelus kepalanya, tapi saya percaya doa seorang ayah akan selalu sampai. Doa itu adalah wujud cinta yang tak bisa terputus oleh jarak atau keadaan.

Dan untuk anak-anak saya, pesan yang ingin selalu saya sampaikan adalah: ayah selalu ada untuk kalian, meski tidak selalu tampak di depan mata. Ayah selalu bangga, selalu sayang, dan selalu mendoakan yang terbaik.

Karena sejatinya, kasih sayang seorang ayah tidak pernah lekang oleh waktu. Ia mungkin tak selalu terlihat, tapi ia hidup di setiap detak doa dan rindu yang tak pernah padam.

Posting Komentar